Adanya isu
mengenai sebenarnya pemerintah masih mengantongi “uang surplus dari penerimaan
sektor migas setelah dipotong subsidi” bukanlah hal yang mengejutkan.
Ini karena memang
dalam penerimaan negara ada yang dikenal penerimaan sektor migas dan penerimaan
sektor non migas. Artinya pemerintah masih bergantung APBNnya dari sektor
migas.
Apalagi dari
kegiatan migas ini juga diperoleh berbagai penerimaan lainnya berupa pajak dari
perusahaan penunjang operasi migas seperti drilling, marine, dll.
Selain itu juga
ada penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah terpencil, sebagai contoh
beberapa wilayah seperti Bontang, Duri, Balikpapan, Palembang, dan lainnya itu
berkembang pesat seiring dengan oil booming di sana pada masa lalu.
Terkait dengan
opini Kwik Kian Gie dan Rieke Dyah Pitaloka itu, pertanyaannya adalah “Apakah
uang penerimaan sektor migas itu hanya dan harus dihabiskan untuk memberikan
subsidi BBM saja semata???”
- Kita tahu bahwa pemerintah masih memerlukan dana untuk membayar cicilan hutang luar negeri dan dalam negeri (obligasi rekap dll).
- Selain itu pemerintah juga harus membiayai pembangunan khususnya infrastruktur yang masih terus dikeluhkan selama ini.
- Lalu adanya keharusan pembiayaan sektor pendidikan yang minimal 20% APBN.
Sehingga
sangatlah tidak waras dan adil bilamana hasil dari penerimaan migas itu lantas
dipakai memberikan subsidi agar mobil-mobil pribadi yang haus BBM itu bisa
terus mengkonsumsinya dengan harga tidak sampai 50% dari harga keekonomian
sebenarnya.
Bayangkan saja 1
liter premium itu hanya Rp. 4.500,- per liter.... padahal harga keekonomiannya
sudah mencapai lebih dari Rp. 8.400,- per liter....
Jadi kalau ada
mobil yang ngisi premium itu, maka pemerintah seolah ikut menaruh uang ke dalam
kantong pemilik mobil sebesar nyaris Rp. 4.000,-.... betapa tidak adilnya, kalau si pemilik mobil mengisi 50 liter,
berarti dia telah mengantongi uang negara Rp. 200.000,-.....
Bagaimana menurut
anda?????
No comments:
Post a Comment