Wednesday, April 25, 2012

Pembatasan BBM Percuma

Pemerintah dimungkinkan untuk membatasi bahan bakar minyak bersubsidi. Namun, pengawasannya harus dapat dijamin sehingga volume BBM dapat terkontrol dengan baik. Jika tidak, pembatasan BBM bersubsidi itu percuma dilaksanakan.

”Partai Golkar menolak jika pembatasan dilakukan dengan melarang mobil berkapasitas di atas 1.500 cc memakai BBM bersubsidi,” kata anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha, di Jakarta, Rabu (25/4/2012).

Pemerintah belum memutuskan akan membatasi BBM bersubsidi, yaitu bensin dan solar. Sidang Kabinet Paripurna, Selasa, masih mendalami pembatasan BBM bersubsidi. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyatakan, pemerintah akan melarang penggunaan bensin untuk mobil pribadi 1.500 cc ke atas lewat sistem stiker (Kompas, 25/4/2012).

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, semalam, menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum dijadwalkan mengumumkan kebijakan BBM, Kamis ini. Namun, Presiden dijadwalkan memberi pengarahan soal kebijakan BBM di hadapan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional yang diadakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Satya Yudha meragukan efektivitas pemerintah melarang kendaraan di atas 1.500 cc mengonsumsi BBM bersubsidi. Stiker yang akan ditempel di kendaraan yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi akan mudah ditiru. ”Masalah juga akan muncul dalam pengawasan di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar untuk umum),” katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Dolfie OFP, mengemukakan, untuk melarang kendaraan di atas 1.500 cc memakai BBM bersubsidi dibutuhkan persiapan selama tiga bulan bagi PT Pertamina dan enam bulan bagi SPBU. ”Dengan demikian, jika kebijakan itu diputuskan pada bulan ini, baru dapat dilaksanakan sepenuhnya Oktober 2012, yang artinya ketika APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2012 hampir selesai,” ujar Dolfie.

Mengenai solusi menaikkan harga BBM, menurut Satya Yudha, Pasal 7 Ayat (6A) Undang-Undang APBN Perubahan (APBN-P) 2012 belum bisa dilaksanakan. Pasal itu mengatur kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Hal itu karena harga minyak mentah Indonesia belum mencapai 15 persen di atas asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) 105 dollar AS per barrel dalam APBN-P 2012. Selain itu, kenaikan harga minyak mentah itu juga harus berlangsung selama enam bulan terakhir.

Selama pasal itu belum bisa dilaksanakan, pemerintah dapat menggunakan penjelasan Pasal 7 Ayat (4) UU APBN-P 2012 yang memungkinkan pemerintah bisa mengendalikan BBM bersubsidi secara bertahap.
Satya Yudha mengingatkan agar cara pengendalian yang digunakan fokus pada pengendalian volume yang tertib. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan sistem pengendali dengan teknologi radio frequency identification atau kartu pintar yang bisa mengidentifikasi mobil yang layak disubsidi dengan penggunaan BBM bersubsidi per hari dan per volume yang dijatahkan.

”Apabila sistem yang digunakan tidak bisa menjamin terkontrolnya volume, arti pembatasan menjadi percuma. Sistem stiker pasti tidak efektif karena lemahnya pengawasan terkait volume dan penyalahgunaan BBM bersubsidi,” kata Satya Yudha.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan, pembatasan BBM yang hanya ditujukan untuk kalangan tertentu berimplikasi luas terhadap kinerja perusahaan. ”Disparitas harga antara Premium dan Pertamax perlu dicermati karena akan memunculkan berbagai ekses di lapangan,” kata Hariyadi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita H Legowo di Bontang, Kalimantan Timur, menyatakan, pemerintah masih mendalami rencana pembatasan BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas.
Kalau sudah selesai dibahas, kata Evita, program pembatasan BBM bersubsidi itu akan diumumkan pemerintah.
 
Bahan bakar gas
Solusi lain ditawarkan Fraksi PDI-P. Dolfie mengingatkan, pemerintah memiliki anggaran Rp 2 triliun untuk konversi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG). Biaya pembuatan instalasi BBG di SPBU yang aktif hanya sebesar Rp 2 miliar. Dengan demikian, anggaran Rp 2 triliun itu dapat dipakai untuk membuat instalasi BBG di 1.000 SPBU.

”Mengapa pemerintah tidak konsisten ke gagasan awal, yaitu mendorong konversi ke BBG? Jika konversi ini tidak dilakukan, masalah BBM bersubsidi akan terus menjadi masalah,” papar Dolfie.
Tahun ini, menurut dia, pemerintah seharusnya fokus melakukan konversi dari BBM ke BBG. Pada saat yang sama, pengendalian BBM bersubsidi dapat dimulai dengan memperketat pengawasan konsumsi BBM untuk industri dan mencegah penyelundupan BBM bersubsidi ke luar negeri. Dengan demikian, konversi ke BBG dapat dimulai hingga secara perlahan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikurangi.

Pengamat perminyakan Kurtubi juga menyatakan, untuk mengurangi subsidi BBM dan lebih menyehatkan BBM, pemerintah sebaiknya menggunakan instrumen kebijakan energi yang benar. Caranya, mengurangi pemakaian BBM dengan diversifikasi ke BBG yang dipercepat dan dengan kebijakan harga. ”Jadi, bukan dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Perindustrian MS Hidayat menjelaskan, pemerintah telah siap melaksanakan konversi BBM ke gas. Saat ini rencana konversi BBM ke BBG sedang difinalkan antar-kementerian untuk pengaturan persyaratan bagi standar teknis alat perangkat konversi.

”Bengkel umum yang berjumlah 12 buah dan telah mempunyai pengalaman dalam pemasangan converter kit (alat pengonversi) pada program yang lalu sudah siap mendukung,” kata Hidayat.

 Sumber : Kompas

No comments:

Post a Comment