Monday, April 2, 2012

Tekanan Ekonomi

Banyak suara kontra mengenai pilihan pemerintah untuk menaikan BBM

Dalam pidatonya sebagai tanggapan atas paripurna DPR, Presiden SBY mengucapkan adanya "tekanan ekonomi".
Ini yang lolos ditangkap masyarakat. Tekanan ekonomi ini lahir dari krisis ekonomi global pada 2008 lalu dan kini menghantam Eropa melalui krisis maha dahsyat di beberapa negara seperti Yunani, Portugal, Spanyol, dan lainnya.

Namun krisis pada 2008 dan di Eropa saat ini, relatif mampu diantisipasi pemerintah beberapa negara Asia khususnya Indonesia.

Namun belum lagi tekanan itu hilang, muncul tekanan berikutnya di mana harga minyak dunia terus naik terlebih karena krisis nuklir Iran dan revolusi Timur Tengah yang menyebabkan produksi migas sana terganggu dan mengurangi suplai ke pasar dunia.

Naiknya harga minyak inilah yang secara langsung jadi momok menghantam ekonomi Indonesia.

Minyak selain sebagai bahan baku, juga sebagai darah transportasi. Indonesia yang relatif masih mengandalkan transportasi pribadi terkena dampak hebat dengan membengkaknya realisasi pemakaian subsidi baik segi harga maupun volume pemakaian BBM (krn banyak juga yg  beralih ke BBM subsidi sekarang) Belum lagi penyelundupan.

Ada kekhawatiran inflasi akan naik kalau BBM dinaikan. Jelas ini akan terjadi dan pemerintah tidak dapat mencegahnya, namun hanya bisa berupaya mengendalikannya. Karena kenaikan harga minyak dunia memang sudah menaikan harga berbagai barang di seluruh dunia juga. Makanya Presiden SBY mengatakan "ekonomi dalam tekanan".

Naiknya harga kebutuhan hidup adalah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Tugas pemerintah adalah membantu sebagian masyarakat yg kurang beruntung, yang betul-betul terpukul dan tidak dapat menanggung beban kenaikan harga ini, melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Banyak pihak mengatakan ini tidak mendidik. Dalam konteks jangka panjang iya. Tapi dalam konteks jangka pendek maka ini laksana "transfusi darah" yang diperlukan pada kondisi kritis. Makanya hanya diberlakukan 9 bulan BLT ini.

Di biangnya kapitalis seperti Amerika pun ada namanya tunjangan tunai bagi pengangguran. Bahkan pada 2008, presiden Obama memberikan bantuan tunai bagi rakyatnya yang ingin mencicil mobil baru, semata agar pabrik mobil General Motors tetap berproduksi, sehingga tetap bekerja dan bisa direstrukturisasi.

Terlepas dari semua ini, pilihan selalu menimbulkan dampak. Tidak ada keputusan dan tindakan yang sempurna. Tapi kalau pemerintah tidak mengambil keputusan dan bertindak, niscaya APBN akan terpakai besar-besaran membiayai subsidi BBM yang salah kaprah karena dinikmati oleh para pemilik mobil. Satu kali ngisi 50 liter sama saja mendapatkan cash back Rp. 200 ribu lebih dari pemerintah. Betapa tidak adilnya.

Ada usulan mengenai perbaikan transportasi umum, mengenai digalakannya pemberantasan korupsi, mengenai diversifikasi energi, mengenai efisiensi anggaran pemerintah, dan masih banyak lagi.
Semuanya adalah baik dan harus dilaksanakan.

Namun tekanan ekonomi akibat kenaikan BBM ini di depan mata. Sulit menunggu hal di atas dituntaskan. Dengan besaran subsidi BBM bisa melebihi 180 Triliun rupiah bila tanpa kenaikan BBM, berarti setiap hari lebih dari  Rp. 500 Milyar menjadi asap belaka karen konsumen juga sulit disadarkan untuk efisiensi energi bila harga BBM terus murah.

No comments:

Post a Comment