Gejolak
bahan bakar minyak (BBM) subsidi di Indonesia sebenarnya bisa
‘dipadamkan’ dengan air kencing alias urine. Jangan salah tangkap dulu!
Bukannya urine diguyurkan ke pendemo atau pengambil kebijakan, tapi para
ilmuwan menemukan pipis (bahasa Jawa urine,Red) ternyata bisa diubah
menjadi sumber energi.
Rakyat,
anggota parlemen hingga para menteri Indonesia saat ini bak
keras-kerasan berteriak mengenai masalah BBM subsidi. Masyarakat menolak
kenaikan harga mengikuti ‘menggilanya’ harga minyak mentah dunia.
Sementara, pemerintah ngotot naik atau pembatasan Premium dengan alasan
anggaran bisa jebol. Di sisi lain, anggota dewan yang terhormat memilih
jalan aman dengan menolak kenaikan per 1 April, tapi mengizinkan
kenaikan bila ICP naik 15% selama enam bulan berturut-turut.
Keributan
ini tak perlu terjadi bila energi-energi alternatif dikembangkan serius
di Indonesia, maupun dunia secara umum. Sebab, kencing saja ternyata
bisa dijadikan bahan bakar. Berita dahsyat itu pertama kali disiarkan
oleh Radio Nederland, Belanda. Para ilmuwan Negeri Kincir Angin ini
telah berhasil menguji kekuatan si ‘air kuning’.
Adalah
Universitas Teknologi Delft dan lembaga penelitian DHV yang
mengembangkan teknologi pemrosesan urine ini. Baru-baru ini, mereka
berhasil mendaftarkan paten temuan ini di China, Afrika Selatan, Amerika
Serikat, dan Eropa. "Kami memproses urine yang dikumpulkan secara
konvensional dan kimiawi," kata Andreas Glesen, Manajer Inovasi DHV
Research.
Menurut
Thiss Westerbeek, jurnalis Radio Nederland di Belanda, bahan bakar
urine ini telah memasok energi setara 110 ribu Megawatt di 30 ribu rumah
atau seluas satu kota kecil. Jika produksi urine ditingkatkan, para
periset memprediksi daya yang dipasok bisa digenjot hingga lima kali
lipat untuk jumlah rumah yang sama. Dan ini yang terpenting, tak cuma
bisa dipakai untuk memasak, “energi kuning” ini dapat digunakan sebagai
BBM alternatif untuk menggerakkan mobil bertenaga listrik.
Proses
mengubah urine menjadi sumber energi alternatif ini cukup “sederhana”.
Air seni mengandung senyawa amonia. Jika dipanaskan secara perlahan,
urine akan berubah menjadi gas amonia. Gas tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam sel bahan bakar (fuel cell), sejenis generator, dan kemudian
digunakan untuk memproduksi energi lisrik. Jika
pasokan urine dijaga selalu tersedia, energi listrik pun bisa
diproduksi terus-menerus, setiap saat. Inilah keunggulan teknologi ini
dengan energi yang dikonversi dari angin dan matahari, yang amat
bergantung pada kondisi alam.
Sudah
begitu, bahan sisa pemrosesan urine, asam fosfat, juga bisa digunakan
untuk membuat pupuk urea yang tak berbahaya karena tak mengandung bahan
kimia. Temuan
ini akan dibuka untuk para investor. Meskipun biaya awalnya cukup
tinggi —tak dijelaskan berapa-- namun investasi selangit itu
diproyeksikan sudah akan kembali dalam waktu 8-10 tahun. Di Belanda,
jangka waktu seperti itu dianggap masih masuk akal dan bisa diterima
dunia bisnis. “Penelitian ini dibiayai oleh pemerintah,” ujar Thiis.
Keseriusan
Belanda mengolah air seni bisa ditarik lebih jauh ke belakang. Seperti
dilansir CSIR e-News, untuk mengambil kekuatan “si kuning”, sejak tahun
2006 mereka telah mengembangkan teknologi yang dapat memisahkan air dari
urine di toilet. Teknologi ini dikembangkan Dr. Jac Wilsenach. Gelar
doktornya dia dapat dari Universitas Delft.
“Kita
harus melihat urine sebagai sumber daya ketimbang limbah,” begitu kata
Wilsenach yang kini bekerja sebagai peneliti senior CSIR Natural
Resources and Environment. Menurut
dia, sebagai limbah kebanyakan urine mengandung 80 persen nitrogen, 50
persen fosfat, dan 70 persen potasium. Untuk memisahkan zat-zat itu dari
air urine diperlukan toilet pemisah khusus. Maka, dia pun menciptakan
toilet spesial yang diberi nama “NoMix.” Kendalanya, untuk mendapat
bahan baku urine segar, jutaan rumah harus dibuat untuk mengganti toilet
lama mereka dengan Nomix. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Wilsenach
tak hilang akal. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, dia akan
memasang "NoMix" di tempat-tempat umum: di blok perkantoran, sekolah,
mal, dan bandara. Di area publik itu urine melimpah ruah, dan selama ini
terbuang percuma. Dari situlah terbuka lebar untuk memproduksi energi
alternatif dari urine jadi terbuka lebar.
Sayangnya,
di Indonesia urine belum dilirik jadi pengganti BBM.Kepala Divisi
Energi Baru dan Terbarukan Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ir. Erlan Rosyadi
M.Eng, garuk-garuk kepala. “Riset urine? Tidak pernah kita melakukan
itu,” ujarnya dikutip drai VIVAnews.
Hal
senada disampaikan Dr. Neni Sitawardani, peneliti fisika senior di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut dia, urine belum
diteliti sebagai alternatif pengganti BBM. Urine,
jelas Dr. Neni, baru dimanfaatkan untuk membuat pupuk. Salah satu yang
memeloporinya adalah sebuah pabrik pupuk di Indramayu. Petani di sekitar
pabrik itu menggunakan pupuk urine itu. “Hasilnya cukup bagus,” kata
Neni. Selain mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, para petani
mengaku padi yang dihasilkan lebih pulen dan manis.
Sumber : SurabayaPost
No comments:
Post a Comment