Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Widjajono Partowidagdo,
dalam kapasitas sebagai pribadi, mengungkapkan perlunya penghematan
subsidi bahan bakar menyusul tertundanya pemerintah menaikkan harga
bahan bakar minyak bersubsidi.
Salah satu dari solusi yang
ditawarkan profesor di bidang perminyakan ini adalah membatasi konsumsi
BBM bersubsidi, dan hanya boleh digunakan mobil-mobil dengan kapasitas
tak lebih dari 1.500 cc.
Efektifkah cara ini?
Pengamat
energi yang juga Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Dr.
Kurtubi mengatakan, langkah ini justru hanya akan menimbulkan kerawanan
di masyarakat. "Di lapangan akan terjadi keributan antara konsumen
dengan petugas SPBU," kata dia melalui sambungan telepon, Kamis 12 Maret
2012.
Memang, apapun langkah mengurangi subsidi bahan bakar itu
sangat bagus. Apalagi, tingginya subsidi energi telah membuat APBN tak
sehat. "Tapi ini cara terakhir," katanya.
Pengajar pascasarjana
Universitas Indonesia ini mengatakan, masih banyak cara membatasi
subsidi energi tanpa memberatkan dan merepotkan rakyat. Pemerintah juga
tak perlu menaikkan harga yang dihadang demo besar-besaran. "Pemerintah
cukup mengkonversi energi ke bahan bakar gas," katanya.
Kurtubi
mengatakan, pemerintah seharusnya belajar dari kebijakan sebelumnya,
konversi energi. Sebelum konversi elpiji dilakukan pada 2007, subsidi
minyak tanah merupakan terbesar dibandingkan dengan premium maupun
solar. Kenyataannya, melalui konversi, konsumsi minyak tanah anjlok,
dengan sendirinya subsidi juga berkurang drastis.
Pemerintah
sebenarnya bisa melakukan konversi premium dan solar dengan bahan bakar
gas (BBG). Penggunaan BBG sudah teruji pada Bus Transjakarta, Bajaj,
dan sejumlah taksi. "Bajaj saja bisa, masa mobil pribadi tidak bisa?"
katanya.
Menurut Kurtubi, biaya konversi BBG tidak seberapa bila
dibadingkan dengan subsidi BBM yang harus dikeluarkan pemerintah tiap
tahun.
Tahap awal, pemerintah bisa mewajibkan seluruh mobil pelat
merah dan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya untuk beralih pada
BBG. Caranya, pemerintah mempercepat pembangunan tangki apung LNG (LNG
receiving terminal) di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah selesai,
pemerintah memasang pipa dari Tanjung Priok ke pool taksi, bus, dan
Bajaj.
"Pembangunan pipa gas biayanya tidak jauh beda dengan pipa air," katanya.
Selain
membangun pipa, pemerintah juga harus memberikan alat pengkonversi BBG
yang dipasang pada tiap kendaraan. "Ini harganya sekitar Rp4 juta per
kendaraan," katanya. "Ini mirip pemberian kompor dan tabung elpiji ke
masyarakat."
Setelah kendaraan pelat merah dan pelat kuning,
pemerintah tinggal mengimbau kendaraan pelat hitam. Sambil menunggu
mewajibkan kendaraan pribadi, pemerintah bisa memfasilitasi pembangunan
stasiun pengisian BBG (SPBBG). "Setiap SPBU yang masih memiliki tanah
kosong wajib membangun SPBBG," katanya.
"Bila sudah berjalan,
konsumsi premium dan solar akan jauh menurun, seperti konsumsi minyak
tanah. Subsidi pun akan jauh berkurang."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : vivanews.com
http://otomotif.vivanews.com/news/read/303844-larang-kendaraan-pakai-premium--efektifkah-
No comments:
Post a Comment