Thursday, April 12, 2012

Larang Kendaraan Pakai Premium, Efektifkah?

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Widjajono Partowidagdo, dalam kapasitas sebagai pribadi, mengungkapkan perlunya penghematan subsidi bahan bakar menyusul tertundanya pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Salah satu dari solusi yang ditawarkan profesor di bidang perminyakan ini adalah membatasi konsumsi BBM bersubsidi, dan hanya boleh digunakan mobil-mobil dengan kapasitas tak lebih dari 1.500 cc.

Efektifkah cara ini?

Pengamat energi yang juga Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Dr. Kurtubi mengatakan, langkah ini justru hanya akan menimbulkan kerawanan di masyarakat. "Di lapangan akan terjadi keributan antara konsumen dengan petugas SPBU," kata dia melalui sambungan telepon, Kamis 12 Maret 2012.

Memang, apapun langkah mengurangi subsidi bahan bakar itu sangat bagus. Apalagi, tingginya subsidi energi telah membuat APBN tak sehat. "Tapi ini cara terakhir," katanya.

Pengajar pascasarjana Universitas Indonesia ini mengatakan, masih banyak cara membatasi subsidi energi tanpa memberatkan dan merepotkan rakyat. Pemerintah juga tak perlu menaikkan harga yang dihadang demo besar-besaran. "Pemerintah cukup mengkonversi energi ke bahan bakar gas," katanya.

Kurtubi mengatakan, pemerintah seharusnya belajar dari kebijakan sebelumnya, konversi energi. Sebelum konversi elpiji dilakukan pada 2007, subsidi minyak tanah merupakan terbesar dibandingkan dengan premium maupun solar. Kenyataannya, melalui konversi, konsumsi minyak tanah anjlok, dengan sendirinya subsidi juga berkurang drastis.

Pemerintah sebenarnya bisa melakukan konversi premium dan solar dengan bahan bakar gas (BBG). Penggunaan BBG sudah teruji pada Bus Transjakarta,  Bajaj, dan sejumlah taksi. "Bajaj saja bisa, masa mobil pribadi tidak bisa?" katanya.

Menurut Kurtubi, biaya konversi BBG tidak seberapa bila dibadingkan dengan subsidi BBM yang harus dikeluarkan pemerintah tiap tahun.

Tahap awal, pemerintah bisa mewajibkan seluruh mobil pelat merah dan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya untuk beralih pada BBG. Caranya, pemerintah mempercepat pembangunan tangki apung LNG (LNG receiving terminal) di  Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setelah selesai, pemerintah memasang pipa dari Tanjung Priok ke pool taksi, bus, dan Bajaj.

"Pembangunan pipa gas biayanya tidak jauh beda dengan pipa air," katanya.

Selain membangun pipa, pemerintah juga harus memberikan alat pengkonversi BBG yang dipasang pada tiap kendaraan. "Ini harganya sekitar Rp4 juta per kendaraan," katanya. "Ini mirip pemberian kompor dan tabung elpiji ke masyarakat."

Setelah kendaraan pelat merah dan pelat kuning, pemerintah tinggal mengimbau kendaraan pelat hitam. Sambil menunggu mewajibkan kendaraan pribadi, pemerintah bisa memfasilitasi pembangunan stasiun pengisian BBG (SPBBG). "Setiap SPBU yang masih memiliki tanah kosong wajib membangun SPBBG," katanya.

"Bila sudah berjalan, konsumsi premium dan solar akan jauh menurun, seperti konsumsi minyak tanah. Subsidi pun akan jauh berkurang."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : vivanews.com
http://otomotif.vivanews.com/news/read/303844-larang-kendaraan-pakai-premium--efektifkah-

No comments:

Post a Comment