Sunday, April 29, 2012

Risiko Politik Liberalisasi Harga BBM

Rencana pemerintah membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga kini masih terjadi perbedaan pendapat. Pihak yang setuju menyatakan pembatasan harus segera dilakukan. Kalau tidak, konsumsi BBM bersubsidi akan terus meningkat dan semakin memberatkan APBN. 

Terlebih lagi yang menyedot BBM bersubsidi adalah pemilik mobil bermesin di atas 1.500 cc, dan membutuhkan BBM dalam jumlah banyak. Terutama pada saat harga BBM non-subsidi jenis Pertamax harganya mencapai Rp 10.000 lebih/liter.

Sementara itu pihak yang menolak mengatakan, langkah pembatasan tersebut sulit diaplikasikan di lapangan. Justru akan berisiko menimbulkan masalah baru.
Tentu akan menimbulkan ketegangan dengan petugas SPBU dan mengundang pertanyaan, apakah pantas seorang yang memiliki mobil tua namun bermesin di atas 1.500 cc, harus membeli BBM dengan harga mengikuti pasar.

Bila pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan itu dengan ketat dan tegas, diprediksi akan ada kelompok di masyarakat yang ingin tetap bisa membeli Premium dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), maka akan terjadi ‘pasar gelap Premium’. Dengan kondisi pengawasan dan penindakan yang masih lemah, hal tersebut sulit diberantas.

Diperkirakan pembatasan BBM bersubsidi hanya akan berjalan mulus pada kendaraan milik pemerintah karena pembelian BBM non-subsidi dibiayai oleh uang negara.
Lalu bagaimana dengan nasib BBM bersubsidi? Dengan adanya izin dari DPR RI yang diputuskan pada sidang  pada akhir Maret 2012, pemerintah dapat menaikkan harga BBM bersubsidi apabila harga minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai rata-rata 120,75 dolar AS/ barrel dalam enam bulan.

Langkah pemerintah membatasi pembelian BBM bersubsidi atau dengan kata lain menggiring rakyat membeli BBM harga pasar, serta menaikkan harga BBM bersubsidi, mempunyai risiko politik.
Liberalisasi harga BBM dan BBG dengan cara menyerahkan harga pada mekanisme persaingan usaha, ditolak MK karena dapat mengancam hak rakyat atas harga BBM yang terjangkau.
Ironisnya, putusan MK itu dilangkahi pemerintah dengan menerbitkan Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual BBM dan menjadikan Mids Oli Platts Singapore (MOPS) sebagai patokan penentuan harga.

Padahal, MOPS adalah urat nadi liberalisme harga BBM. Di sisi lain DPR telah memutuskan penambahan ayat 6A pada Pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Kenaikan harga BBM bersubsidi dalam ayat tersebut ditentukan oleh ICP. Namun yang juga perlu diketahui adalah ICP itu sendiri adalah harga minyak mentah di Indonesia yang mencerminkan harga di pasar dunia. Dengan demikian secara prinsip pemerintah telah menentang keputusan MK yang membatalkan 3 Pasal UU Migas. Seharusnya pemerintah mulai mengakhiri kebijakan dari BBM ke BBM, dan memulai konversi dari BBM ke BBG.

______________________________________________________________________________
Sumber : Suara Merdeka.com
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/30/184933/Risiko-Politik-Liberalisasi-Harga-BBM

No comments:

Post a Comment