Rencana pemerintah membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi hingga kini masih terjadi perbedaan pendapat. Pihak yang
setuju menyatakan pembatasan harus segera dilakukan. Kalau tidak,
konsumsi BBM bersubsidi akan terus meningkat dan semakin memberatkan
APBN.
Terlebih lagi yang menyedot BBM bersubsidi adalah pemilik mobil bermesin
di atas 1.500 cc, dan membutuhkan BBM dalam jumlah banyak. Terutama
pada saat harga BBM non-subsidi jenis Pertamax harganya mencapai Rp
10.000 lebih/liter.
Sementara itu pihak yang menolak mengatakan, langkah pembatasan tersebut
sulit diaplikasikan di lapangan. Justru akan berisiko menimbulkan
masalah baru.
Tentu akan menimbulkan ketegangan dengan petugas SPBU dan mengundang
pertanyaan, apakah pantas seorang yang memiliki mobil tua namun bermesin
di atas 1.500 cc, harus membeli BBM dengan harga mengikuti pasar.
Bila pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan itu dengan ketat dan
tegas, diprediksi akan ada kelompok di masyarakat yang ingin tetap bisa
membeli Premium dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga di
stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), maka akan terjadi ‘pasar
gelap Premium’. Dengan kondisi pengawasan dan penindakan yang masih
lemah, hal tersebut sulit diberantas.
Diperkirakan pembatasan BBM bersubsidi hanya akan berjalan mulus pada
kendaraan milik pemerintah karena pembelian BBM non-subsidi dibiayai
oleh uang negara.
Lalu bagaimana dengan nasib BBM bersubsidi? Dengan adanya izin dari DPR
RI yang diputuskan pada sidang pada akhir Maret 2012, pemerintah dapat
menaikkan harga BBM bersubsidi apabila harga minyak mentah Indonesia
(ICP) mencapai rata-rata 120,75 dolar AS/ barrel dalam enam bulan.
Langkah pemerintah membatasi pembelian BBM bersubsidi atau dengan kata
lain menggiring rakyat membeli BBM harga pasar, serta menaikkan harga
BBM bersubsidi, mempunyai risiko politik.
Liberalisasi harga BBM dan BBG dengan cara menyerahkan harga pada
mekanisme persaingan usaha, ditolak MK karena dapat mengancam hak rakyat
atas harga BBM yang terjangkau.
Ironisnya, putusan MK itu dilangkahi pemerintah dengan menerbitkan
Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual BBM dan menjadikan Mids Oli Platts
Singapore (MOPS) sebagai patokan penentuan harga.
Padahal, MOPS adalah urat nadi liberalisme harga BBM. Di sisi lain DPR
telah memutuskan penambahan ayat 6A pada Pasal 7 UU APBN Perubahan 2012.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dalam ayat tersebut ditentukan oleh ICP.
Namun yang juga perlu diketahui adalah ICP itu sendiri adalah harga
minyak mentah di Indonesia yang mencerminkan harga di pasar dunia.
Dengan demikian secara prinsip pemerintah telah menentang keputusan MK
yang membatalkan 3 Pasal UU Migas. Seharusnya pemerintah mulai
mengakhiri kebijakan dari BBM ke BBM, dan memulai konversi dari BBM ke
BBG.
______________________________________________________________________________
Sumber : Suara Merdeka.com
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/30/184933/Risiko-Politik-Liberalisasi-Harga-BBM
No comments:
Post a Comment