Nelayan Terkuras BBM
Pendapatan nelayan semakin
terkuras untuk membeli bahan bakar minyak yang mencapai 70 persen dari total
biaya melaut. Keterbatasan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan
kios pengisian solar nelayan (SPDN) di sentra produksi memaksa nelayan membeli
BBM eceran yang jauh lebih mahal.
Di beberapa sentra nelayan harga
BBM eceran sudah naik meski harga BBM batal dinaikan. Jaim Sanjaya, nelayan di
Desa Kalimenir, Eretan Kulon, Indramayu, menuturkan, harga BBM eceran sejak
akhir Maret 2012 naik dari Rp 5.000 per liter menjadi Rpp 5.500 perliter.
Kepala unit SPDN Misaya Mina
Subunit Pelabuhan Perikanan Pantai Eretan Indramayu, Inosutisno, mengemukakan ,
jatah solar subsidi di SPDN itu sebanyak 72 kiloliter perbulan hanya cukup
untuk 30 kapal milik anggota koperasi, sedangkan kapal nelayan yang bersandar
di Subunit PPP Eretan adalah ratusan unit. Kenaikan harga BBM diperkirakan
mempengaruhi kehidupan nelayan karena BBM merupakan komponen biaya terbesar
dalam biaya melaut. “Jumlahnya bisa mencapai 80 persen dari biaya melaut,” kata
Umar, tetua nelayan di Muncar, banyuwangi, Jawa Timur.
Pendapatan nelayan tidak pasti. Saat
paceklik melanda selama dua tahun terakhir di Muncar, mendapatkan ikan adalah
hal yang langka. Jumlah tangkapan paling banyak mencapai 5 ton, itu pun
didapatkan jika beruntung. Yang lebih sering, nelayan pulang dengan tangkapan
hampa.
Kondisi yang sulit ini misalnya
dirasakan sekitar 12.300 nelayan di pesisir Sukabumi, Jawa Barat. Saat musim
angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga bisa memaksimalkan jumlah
hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan.
“Sejak awal Desember, saya tidak
bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam sepekan kadang cuma bisa melaut tiga hari. Pernah sebulan penuh tidak
melaut,” kata Supedin(42), nelayan di Pantai Cipatuguran, Kampung Camara,
Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Saat cuaca bagus, penghasilan
Supendi bisa sampai Rp 300.000 dari udang yang ia tangkap. Namun, itu tidak
terjadi setiap hari. Sering pula ia hanya bisa membawa pulang Rp 5.000, padahal
untuk makan sekeluarga setidaknyabutuh Rp 50.000 per hari. “kalau sedang tidak
ada uang, dan tidak bisa melaut, terpaksa mengutang ke warung.” Kata nelayan
yang menyewa perahu berukuran kurang dari 3 ton ini.
Nelayan lain, Apud (38), sudah
sekitar empat bulan tidak bisa rutin melaut. Di dermaga pelabuhan perikanan
Nusantara Pabuhanratu, Apud sesekali manjadi tukang ojek dengan biaya sewa
motor Rp 10.000 per hari. “Upah dari mencari ikan rata-rata Rp 40.000 per hari.
Dari mengojek bisa dapat Rp 30.000 sampai Rp 60.000 per hari,” kata ayah empat
anak ini. Penghasilan dari mencari ikan bisa lebih besar jika tangkapanya
lebbih banyak.
Banyak nelayan menggangur di
kampung nelayan di Desa gebang Mekar, Kecamatan Gebang, kabupaten Cirebon. Lantaran
cuaca tidak menentu sejak akhir tahun lalu. Jika maksakan melaut, nelayan sama
halnya mempertaruhkan nyawa kondisi itu membuat penghidupan nelayan Gebang
terpukul. “Sudah dua minggu ini saya enggak berani melaut. Kebutuhan keluarga
sehari-hari dipenuhi dengan utang dari warung.”ungkap Hamid Sakam (59), salah
satu nelayan Gebang.
Nelayan yang memiliki perahu kayu
berukuran 9 meter x 3 meter itu mengisi waktu beberapa hari terakhir dengan
duduk-duduk di bekas tempat pelelangan ikan Gebang atau ikut membantu rekannya
merapihkan jala.
Wakil ketua himpunan nelayan seluruh
Indonesia kabupaten Cirebon Dade Mustofa mengatakan, personal cuaca buruk
selalu berulang setiap tahun. Namun belum ada solusi untuk persoalan ini,
terutama jika kondisi itu sampai memukul penghidupan nelayan yang umumnya
miskin.
Peralatan minim
Peralatan dan teknnologi yang
minim membuat nelayan kian merana. Kontak pendingin yang minim, misalnya,
membuat nelayan tak bisa berbuat banyak. Perahu apud dari Palabuhanratu,
misalnya, bisa mengapung hingga 2 ton ikan tuna kecil. Ikan sebanyak itu layak
disimpan dalam sedikitnya sepuluh kotak pendingin selama melaut. Namun, di
perahu itu hanya ada enam kotak sehingga tangkapan yang bisa ia bawa pulang
diantara banyak 1.5 ton.
Menyangkut sarana dan prasarana,
kondisi minim terasa di maluku. Padahal, sejak dua tahun lalu, pemerintah
menetapkan maluku sebagai lumbung ikan nasional. Praktis tidak ada peningkatan
dalam jumlah perahu, alat tangkap, pelabuhan perikanan, ketersediaan bahan
bakar minyak, dan terbatasnya pasar yang menyerap ikan hasil tangkapan nelayan.
Data dinas Kelautan dan perikanan
maluku menyebutkan, sekitar 80 persen dari 62.679 perahu milik nelayan di
maluku masih tradisional tanpa motor. Nelayan pun hanya bisa mencari ikan di
pesisir pantai. Niko Tuhumury (45), salah satu nelayan di desa seri, Nusaniwe,
Ambon mengatakan mayoritas nelayan di seri yang berjumlah sekitar 100 nelayan
belum menggunakan mesin karena kendala biasa
No comments:
Post a Comment