Monday, April 9, 2012

Nelayan Terkuras BBM


Nelayan Terkuras BBM

Pendapatan nelayan semakin terkuras untuk membeli bahan bakar minyak yang mencapai 70 persen dari total biaya melaut. Keterbatasan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios pengisian solar nelayan (SPDN) di sentra produksi memaksa nelayan membeli BBM eceran yang jauh lebih mahal.
Di beberapa sentra nelayan harga BBM eceran sudah naik meski harga BBM batal dinaikan. Jaim Sanjaya, nelayan di Desa Kalimenir, Eretan Kulon, Indramayu, menuturkan, harga BBM eceran sejak akhir Maret 2012 naik dari Rp 5.000 per liter menjadi Rpp 5.500 perliter.
Kepala unit SPDN Misaya Mina Subunit Pelabuhan Perikanan Pantai Eretan Indramayu, Inosutisno, mengemukakan , jatah solar subsidi di SPDN itu sebanyak 72 kiloliter perbulan hanya cukup untuk 30 kapal milik anggota koperasi, sedangkan kapal nelayan yang bersandar di Subunit PPP Eretan adalah ratusan unit. Kenaikan harga BBM diperkirakan mempengaruhi kehidupan nelayan karena BBM merupakan komponen biaya terbesar dalam biaya melaut. “Jumlahnya bisa mencapai 80 persen dari biaya melaut,” kata Umar, tetua nelayan di Muncar, banyuwangi, Jawa Timur.
Pendapatan nelayan tidak pasti. Saat paceklik melanda selama dua tahun terakhir di Muncar, mendapatkan ikan adalah hal yang langka. Jumlah tangkapan paling banyak mencapai 5 ton, itu pun didapatkan jika beruntung. Yang lebih sering, nelayan pulang dengan tangkapan hampa.
Kondisi yang sulit ini misalnya dirasakan sekitar 12.300 nelayan di pesisir Sukabumi, Jawa Barat. Saat musim angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga bisa memaksimalkan jumlah hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan.
“Sejak awal Desember, saya tidak bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam sepekan kadang cuma bisa  melaut tiga hari. Pernah sebulan penuh tidak melaut,” kata Supedin(42), nelayan di Pantai Cipatuguran, Kampung Camara, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Saat cuaca bagus, penghasilan Supendi bisa sampai Rp 300.000 dari udang yang ia tangkap. Namun, itu tidak terjadi setiap hari. Sering pula ia hanya bisa membawa pulang Rp 5.000, padahal untuk makan sekeluarga setidaknyabutuh Rp 50.000 per hari. “kalau sedang tidak ada uang, dan tidak bisa melaut, terpaksa mengutang ke warung.” Kata nelayan yang menyewa perahu berukuran kurang dari 3 ton ini.
Nelayan lain, Apud (38), sudah sekitar empat bulan tidak bisa rutin melaut. Di dermaga pelabuhan perikanan Nusantara Pabuhanratu, Apud sesekali manjadi tukang ojek dengan biaya sewa motor Rp 10.000 per hari. “Upah dari mencari ikan rata-rata Rp 40.000 per hari. Dari mengojek bisa dapat Rp 30.000 sampai Rp 60.000 per hari,” kata ayah empat anak ini. Penghasilan dari mencari ikan bisa lebih besar jika tangkapanya lebbih banyak.
Banyak nelayan menggangur di kampung nelayan di Desa gebang Mekar, Kecamatan Gebang, kabupaten Cirebon. Lantaran cuaca tidak menentu sejak akhir tahun lalu. Jika maksakan melaut, nelayan sama halnya mempertaruhkan nyawa kondisi itu membuat penghidupan nelayan Gebang terpukul. “Sudah dua minggu ini saya enggak berani melaut. Kebutuhan keluarga sehari-hari dipenuhi dengan utang dari warung.”ungkap Hamid Sakam (59), salah satu nelayan Gebang.
Nelayan yang memiliki perahu kayu berukuran 9 meter x 3 meter itu mengisi waktu beberapa hari terakhir dengan duduk-duduk di bekas tempat pelelangan ikan Gebang atau ikut membantu rekannya merapihkan jala.
Wakil ketua himpunan nelayan seluruh Indonesia kabupaten Cirebon Dade Mustofa mengatakan, personal cuaca buruk selalu berulang setiap tahun. Namun belum ada solusi untuk persoalan ini, terutama jika kondisi itu sampai memukul penghidupan nelayan yang umumnya miskin.

Peralatan minim

Peralatan dan teknnologi yang minim membuat nelayan kian merana. Kontak pendingin yang minim, misalnya, membuat nelayan tak bisa berbuat banyak. Perahu apud dari Palabuhanratu, misalnya, bisa mengapung hingga 2 ton ikan tuna kecil. Ikan sebanyak itu layak disimpan dalam sedikitnya sepuluh kotak pendingin selama melaut. Namun, di perahu itu hanya ada enam kotak sehingga tangkapan yang bisa ia bawa pulang diantara banyak 1.5 ton.
Menyangkut sarana dan prasarana, kondisi minim terasa di maluku. Padahal, sejak dua tahun lalu, pemerintah menetapkan maluku sebagai lumbung ikan nasional. Praktis tidak ada peningkatan dalam jumlah perahu, alat tangkap, pelabuhan perikanan, ketersediaan bahan bakar minyak, dan terbatasnya pasar yang menyerap ikan hasil tangkapan nelayan.
Data dinas Kelautan dan perikanan maluku menyebutkan, sekitar 80 persen dari 62.679 perahu milik nelayan di maluku masih tradisional tanpa motor. Nelayan pun hanya bisa mencari ikan di pesisir pantai. Niko Tuhumury (45), salah satu nelayan di desa seri, Nusaniwe, Ambon mengatakan mayoritas nelayan di seri yang berjumlah sekitar 100 nelayan belum menggunakan mesin karena kendala biasa


No comments:

Post a Comment