Monday, May 7, 2012

BBM bisa gas pun bisa digunakan dalam satu prototipe alat pengalihan CNG ciptaa UGM

Penggunaan bahan bakar gas pada kendaraan bermotor di Indonesia mulai dirintis lagi. Upaya ini menuntut ketersediaan sistem konverter yang memungkinkan penggunaannya berdampingan dengan bensin atau solar. Pemanfaatan bahan bakar gas pada kendaraan bermotor di Indonesia dimulai sejak tahun 1986, yaitu pada armada taksi dan bus yang beroperasi di Jakarta. Bahan bakar gas yang digunakan adalah gas metan atau gas alam dalam kondisi terkompresi yang disebut compressed natural gas (CNG).

Penggunaan CNG—yang biasa disebut bahan bakar gas (BBG)—memerlukan pemasangan sistem konverter, baik pada kendaraan berbahan bakar bensin maupun solar (untuk yang bermesin diesel). Sistem ini berfungsi memasok gas ke dalam ruang bakar pada mesin. Namun, dengan adanya konverter, penggunaan bahan bakar sebelumnya tetap dapat dilakukan dan kinerja mesin tak terganggu.

Ketika gas akan digunakan, tombol pengatur di ruang kemudi diarahkan ke petunjuk ”gas”. Maka, gas dalam tabung penyimpan akan disalurkan pipa ke bagian regulator untuk menyesuaikan tekanannya kemudian diteruskan ke bagian pencampur (mixer) gas dan udara atau penginjeksi ke ruang bakar. Untuk itu dipasang pula engine control module yang memantau kinerja mesin.

Dengan adanya sistem konverter, penggunaan BBG untuk mengurangi penggunaan BBM pada kendaraan dapat dilakukan. ”Pada taksi, bila gas yang digunakan habis, pengemudi tinggal memutar tombol switch untuk berganti ke bensin,” kata Tri Yuswidjajanto Zenuri, pakar otomotif dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung. Hal yang sama juga dilakukan dengan sistem konverter pada kendaraan bus bermesin diesel.

Desain dan rekayasa


Pada awal program pengenalan BBG, semua komponen, baik tabung gas di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum maupun sistem konverter, didatangkan dari luar negeri, antara lain, Selandia Baru dan Italia.

Hal ini mendorong Tri dan timnya dari Kelompok Keahlian Konversi Energi ITB mengkaji sistem konverter sejak tahun 1988. Dari unjuk kerja yang ada, dilakukan perbaikan sistem dengan mendesain dan memodifikasi komponen yang ada.

Tim itu berhasil mengembangkan prototipe komponen pencampur dan regulator untuk meningkatkan kinerja mesin. Dengan dua komponen itu, pasokan gas dapat ditambah sehingga daya mesin dapat ditingkatkan hingga 15 persen.

Setelah mengembangkan komponen konverter untuk CNG, tim mengkaji sistem konverter untuk LPG tahun 1995. Dalam penggunaannya, sistem tersebut dipasangkan pada kendaraan berbahan bakar petroleum (bensin).

Belakangan ini, LPG pada kendaraan bermotor diberi nama vigas (vehicle gas). Pengkajian vigas dilakukan tim ITB tahun 2005 hingga 2008. Bahan bakar ini selain digunakan pada kendaraan berbahan bakar bensin juga pada solar. Namun, penggunaan vigas dan CNG pada mesin diesel masih memerlukan solar sebagai penyala atau pemicu pembakaran.

Kedua jenis bahan bakar ini jika dibandingkan bensin lebih unggul dalam hal densitas angka oktan, nilai kalor, dan suhu pengapian. Namun, densitas massa bensin 800 kg/m3 jauh lebih tinggi dibandingkan CNG dan LPG (vigas) yang masing-masing hanya 0,7 kg/m3 dan 1,1 kg/m3. Hal ini yang mendorong perlakuan khusus pada gas agar efektif dalam pemakaian, yaitu dengan dimampatkan atau dicairkan.

Penggunaan CNG dan LPG yang sempat surut karena berbagai kendala antara lain infrastruktur dan kecukupan pasokan gas mulai digalakkan lagi. Hal itu karena harga BBM kian melonjak dan untuk mengurangi emisi gas karbon.

Pencanangan gerakan nasional pemasyarakatan BBG pada kendaraan bermotor dilakukan Mei 2006. DKI Jakarta ditetapkan menjadi percontohan. Penggunaan gas untuk kendaraan angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah di DKI diwajibkan berdasarkan Pasal 20 Peraturan Daerah No 2/2005.

Pemberlakuan penggunaan gas membuat PT Dirgantara Indonesia sejak tahun lalu memproduksi konverter termasuk tabung gasnya. Untuk tahap uji coba dibuat sebanyak 500 unit, demikian Dita Ardonni Jafri, Direktur Teknologi PTDI.

Tabung dibuat menggunakan polietilena berdensitas tinggi (high density polyethylene) dan pencetakannya dengan sistem tiup (blow moulding). Dengan cara itu, pada tabung tidak ada sambungan sehingga tabung lebih tahan terhadap tekanan tinggi. Kelebihan lain, antara lain, jauh lebih ringan dibandingkan besi baja dan relatif lebih murah.

Konsep pembuatan tabung ini mengacu pada model pembuatan torpedo, roket, dan kabin pesawat yang dilakukan PTDI. Pembuatan tabung dan sistem konverter mengacu pada standar internasional yang selama ini digunakan PTDI, yaitu Civil Aviation Safety Regulation dan International Organization for Standardization (ISO).

Produksi sistem konverter di PTDI akan diaudit oleh tim audit teknologi, kata Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa, Erzi Agson Gani. Audit ini untuk membantu meningkatkan reliabilitas teknologi dan optimalisasi desain sistem tersebut sesuai standar.

No comments:

Post a Comment