Pemerintah dimungkinkan untuk membatasi bahan bakar minyak
bersubsidi. Namun, pengawasannya harus dapat dijamin sehingga volume
BBM dapat terkontrol dengan baik. Jika tidak, pembatasan BBM bersubsidi
itu percuma dilaksanakan.
”Partai Golkar menolak jika pembatasan
dilakukan dengan melarang mobil berkapasitas di atas 1.500 cc memakai
BBM bersubsidi,” kata anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari
Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha, di Jakarta, Rabu (25/4/2012).
Pemerintah
belum memutuskan akan membatasi BBM bersubsidi, yaitu bensin dan
solar. Sidang Kabinet Paripurna, Selasa, masih mendalami pembatasan BBM
bersubsidi. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik
menyatakan, pemerintah akan melarang penggunaan bensin untuk mobil
pribadi 1.500 cc ke atas lewat sistem stiker (Kompas, 25/4/2012).
Juru
Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, semalam, menyatakan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono belum dijadwalkan mengumumkan kebijakan BBM,
Kamis ini. Namun, Presiden dijadwalkan memberi pengarahan soal
kebijakan BBM di hadapan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diadakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Satya
Yudha meragukan efektivitas pemerintah melarang kendaraan di atas
1.500 cc mengonsumsi BBM bersubsidi. Stiker yang akan ditempel di
kendaraan yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi akan mudah ditiru.
”Masalah juga akan muncul dalam pengawasan di SPBU (stasiun pengisian
bahan bakar untuk umum),” katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi XI
DPR dari Fraksi PDI-P, Dolfie OFP, mengemukakan, untuk melarang
kendaraan di atas 1.500 cc memakai BBM bersubsidi dibutuhkan persiapan
selama tiga bulan bagi PT Pertamina dan enam bulan bagi SPBU. ”Dengan
demikian, jika kebijakan itu diputuskan pada bulan ini, baru dapat
dilaksanakan sepenuhnya Oktober 2012, yang artinya ketika APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2012 hampir selesai,” ujar
Dolfie.
Mengenai solusi menaikkan harga BBM, menurut Satya Yudha,
Pasal 7 Ayat (6A) Undang-Undang APBN Perubahan (APBN-P) 2012 belum
bisa dilaksanakan. Pasal itu mengatur kewenangan pemerintah menaikkan
harga BBM bersubsidi. Hal itu karena harga minyak mentah Indonesia
belum mencapai 15 persen di atas asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP)
105 dollar AS per barrel dalam APBN-P 2012. Selain itu, kenaikan harga
minyak mentah itu juga harus berlangsung selama enam bulan terakhir.
Selama
pasal itu belum bisa dilaksanakan, pemerintah dapat menggunakan
penjelasan Pasal 7 Ayat (4) UU APBN-P 2012 yang memungkinkan pemerintah
bisa mengendalikan BBM bersubsidi secara bertahap.
Satya Yudha
mengingatkan agar cara pengendalian yang digunakan fokus pada
pengendalian volume yang tertib. Hal ini bisa dilakukan dengan
menggunakan sistem pengendali dengan teknologi radio frequency identification
atau kartu pintar yang bisa mengidentifikasi mobil yang layak
disubsidi dengan penggunaan BBM bersubsidi per hari dan per volume yang
dijatahkan.
”Apabila sistem yang digunakan tidak bisa menjamin
terkontrolnya volume, arti pembatasan menjadi percuma. Sistem stiker
pasti tidak efektif karena lemahnya pengawasan terkait volume dan
penyalahgunaan BBM bersubsidi,” kata Satya Yudha.
Wakil Ketua
Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Publik,
Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan, pembatasan BBM yang
hanya ditujukan untuk kalangan tertentu berimplikasi luas terhadap
kinerja perusahaan. ”Disparitas harga antara Premium dan Pertamax perlu
dicermati karena akan memunculkan berbagai ekses di lapangan,” kata
Hariyadi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita H Legowo di Bontang, Kalimantan
Timur, menyatakan, pemerintah masih mendalami rencana pembatasan BBM
bersubsidi bagi mobil pelat hitam dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke
atas.
Kalau sudah selesai dibahas, kata Evita, program pembatasan BBM bersubsidi itu akan diumumkan pemerintah.
Bahan bakar gas
Solusi
lain ditawarkan Fraksi PDI-P. Dolfie mengingatkan, pemerintah memiliki
anggaran Rp 2 triliun untuk konversi dari BBM ke bahan bakar gas
(BBG). Biaya pembuatan instalasi BBG di SPBU yang aktif hanya sebesar
Rp 2 miliar. Dengan demikian, anggaran Rp 2 triliun itu dapat dipakai
untuk membuat instalasi BBG di 1.000 SPBU.
”Mengapa pemerintah
tidak konsisten ke gagasan awal, yaitu mendorong konversi ke BBG? Jika
konversi ini tidak dilakukan, masalah BBM bersubsidi akan terus menjadi
masalah,” papar Dolfie.
Tahun ini, menurut dia, pemerintah
seharusnya fokus melakukan konversi dari BBM ke BBG. Pada saat yang
sama, pengendalian BBM bersubsidi dapat dimulai dengan memperketat
pengawasan konsumsi BBM untuk industri dan mencegah penyelundupan BBM
bersubsidi ke luar negeri. Dengan demikian, konversi ke BBG dapat
dimulai hingga secara perlahan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikurangi.
Pengamat
perminyakan Kurtubi juga menyatakan, untuk mengurangi subsidi BBM dan
lebih menyehatkan BBM, pemerintah sebaiknya menggunakan instrumen
kebijakan energi yang benar. Caranya, mengurangi pemakaian BBM dengan
diversifikasi ke BBG yang dipercepat dan dengan kebijakan harga. ”Jadi,
bukan dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi,” katanya.
Secara
terpisah, Menteri Perindustrian MS Hidayat menjelaskan, pemerintah
telah siap melaksanakan konversi BBM ke gas. Saat ini rencana konversi
BBM ke BBG sedang difinalkan antar-kementerian untuk pengaturan
persyaratan bagi standar teknis alat perangkat konversi.
”Bengkel umum yang berjumlah 12 buah dan telah mempunyai pengalaman dalam pemasangan converter kit (alat pengonversi) pada program yang lalu sudah siap mendukung,” kata Hidayat.
Sumber : Kompas
No comments:
Post a Comment